a. Pengertian
stres
Stres
dalam arti secara umum adalah perasaan tertekan, cemas dan tegang. Dalam bahasa
sehari – hari stres di kenal sebagai stimulus atau respon yang menuntut
individu untuk melakukan penyesuaian. Stres juga diterangkan sebagai suatu
istilah yang digunakan dalam ilmu perilaku dan ilmu alam untuk mengindikasikan
situasi atau kondisi fisik, biologis dan psikologis organisme yang memberikan
tekanan kepada organisme itu sehingga ia berada diatas ambang batas kekuatan
adaptifnya
Stres bisa positif dan bisa negatif. Para peneliti berpendapat bahwa stres
tantangan, atau stres yang menyertai tantangan di lingkungan kerja, beroperasi
sangat berbeda dari stres hambatan, atau stres yang menghalangi dalam mencapai
tujuan. Meskipun riset mengenai stres tantangan dan stres hambatan baru tahap
permulaan, bukti awal menunjukan bahwa stres tantangan memiliki banyak
implikasi yang lebih sedikit negatifnya dibanding stres hambatan.
Hans
Selye, seorang ilmuwan awal yang mempelajari stres, melanjut pengamatan Cannon.
Beliau mengatakan bahawa selain daripada respons tubuh, semasa stres kelenjar
pituitary juga memainkan peranan. Dia menggambarkan kontrol oleh kelenjar
sekresi hormon (misalnya, kortisol) yang penting dalam respon fisiologis
terhadap stres dengan bagian lain dari kelenjar adrenal yang dikenal sebagai
korteks. Selain itu, Selye sebenarnya memperkenalkan istilah tegangan dari
fisika dan rekayasa dan didefinisikan sebagai "respons bersama yang
terjadi di setiap bagian tubuh, fisik atau psikologis." (Nasution I. K.,
2007) Dalam eksperimennya, Selye
menginduksi stres pada tikus dalam berbagai cara. Pada tikus yang terkena
tegangan konstan, berlakunya pembesaran kelenjar adrenal, ulkus
gastrointestinal dan atrofi sistem imun. Beliau menerangkan ini sebagai suatu
proses adaptasi umum (penyesuaian) atau sindrom stres. Ia menemukan bahwa.
proses ini adaptif, penyesuaian yang
sesuai dan normal untuk organisme dalam menangkal stres. Proses adaptif yang
berlebihan, dapat merusak tubuh. Overstres, bisa berbahaya. (Nasution I.
K., 2007)
·
Arti penting stress
Stress
menurut Hans Selye 1976 merupakan respon tubuh yang bersifat tidak spesifik
terhadap setiap tuntutan atau beban atasnya. Berdasarkan pengertian
tersebut dapat dikatakan stress apabila seseorang mengalami beban atau tugas
yang berat tetapi orang tersebut tidak dapat mengatasi tugas yang dibebankan
itu, maka tubuh akan berespon dengan tidak mampu terhadap tugas tersebut,
sehingga orang tersebut dapat mengalami stress. Respons atau tindakan ini
termasuk respons fisiologis dan psikologis.
Contoh
Nenek moyang kita bergantung pada respons stress untuk hidup. Misalnya
mereka melarika diri dari pemangsa, melawan musuh dan bertahan hidup di dunia
yang tidak bersahabat. Mereka dapat bertahan hidup bila mereka berhasil
merespons peristiwa yang mengancam kehidupan. Sebaliknya, sebagian di antara
mereka musnah karena tidak memiliki respons yang sama.
Pada awal peradaban manusia, stress menjadi mekanisme pertahanan hidup.
Saat ini stress justru menjadi penyebab berbagai rasa sakit dan penyakit dalam
dunia modern.
·
Efek-efek stress menurut Hans & Selye
Menurut Hans Selye, ahli endokrinologi terkenal di awal 1930, tidak semua
jenis stres yang merugikan, dengan demikian, ia datang dengan eustress dan
kesusahan. Kita semua melakukan menjalani ringan, saat-saat singkat dan
dikendalikan dari ketegangan saraf yang dianggap umum, dan bertindak sebagai
rangsangan positif terhadap pertumbuhan seseorang intelektual dan emosional.
Selye disebut eustress ini. Ia didefinisikan distres menjadi sesuatu yang sebaliknya
dan ditandai dengan tekanan fisik dan psikologis yang parah yang mengganggu
kesehatan umum.
Efek fisiologis dari stres pada tubuh meliputi:
- Nyeri dada
- Insomnia atau tidur masalah
- Nyeri kepala Konstan
- Hipertensi
- Tukak
Stres dikatakan menjadi sebuah faktor penunjang untuk produksi suatu
penyakit tertentu, atau mungkin menjadi penyebab respon perilaku negatif,
seperti merokok, minum alkohol dan penyalahgunaan narkoba yang semuanya dapat
membuat kita rentan terhadap penyakit. Hal buruk dapat mempengaruhi sistem
kekebalan tubuh, sehingga menyebabkan tubuh kita menjadi kurang tahan terhadap
sejumlah masalah kesehatan.
b. Tipe-tipe Stress Psikologis
Menurut Maramis (1990) ada empat tipe stress
psikologis, yaitu:
1. Tekanan
Tekanan timbul dari tuntutan hidup sehari-hari. Tekanan dapat berasal dari
dalam diri individu, misalnya cita-cita atau norma yang terlalu tinggi sehingga
menimbulkan tekanan dalam diri seseorang. Tekanan juga berasal dari luar diri
individu, misalnya orang tua yang menuntut anaknya untuk masuk ke dalam jurusan
yang tidak diminati oleh anaknya, anak yang menuntut orang tua untuk dibelikan
semua kemauannya, dan lain-lain.
2.
Frustasi
Frustasi muncul karena adanya kegagalan saat ingin mencapai suatu
hal/tujuan. Misalnya seseorang mengalami kegagalan dalam pekerjaan yang
mengakibatkan orang tersebut harus turun jabatan. Orang yang memiliki tujuan
tersebut mendapat beberapa rintangan/hambatan yang tidak mampu ia lalui
sehingga ia mengalami kegagalan atau frustasi. Frustasi ada yang bersifat
intrinsik (cacat badan dan kegagalan usaha) dan ekstrinsik (kecelakaan, bencana
alam, kematian orang yang dicintai, krisis ekonomi, pengangguran,
perselingkuhan, dan lain-lain.
3.
Konflik
Konflik ditimbulkan karena ketidakmampuan memilih dua atau lebih macam
keinginan, kebutuhan, aau tujuan. Saat seseorang dihadapkan dalam situasi yang
berat untuk dipilih, orang tersebut akan mengalami konflik dalam dirinya.
Bentuk konflik digolongkan menjadi tiga bagian, approach-approach conflict, approach-avoidant
conflict, avoidant-avoidant conflict.
4.
Kecemasan
Kecemasan merupakan suatu kondisi ketika individu merasakan kekhawatiran/
kegelisahan, ketegangan, dan rasa tidak nyaman yang tidak terkendali mengenai
kemungkinan akan terjadinya sesuatu yang buruk. Misalnya seorang anak yang
sering dimarahi ibunya, anak tersebut akan merasakan kecemasan yang cukup
tinggi jika ia melakukan hal yang akan membuat ibunya marah padahal ibu si anak
tersebut belum tentu marah padanya.
c. symptom respondes stres
1) Respon
terhadap Stres
a.
Aspek
Fisiologis
Walter
Canon (dalam sarafino, 2006) memberikan deskripsi mengenai bagaiman reaksi
tubuh terhadap suatu peristiwa yang mengancam. Ia menyebutkan reaksi tersebut
sebagai fight-or-fight response karena respon fisiologis mempersiapkan
individu untuk menghadapi atau menghindari situasi yang mengancam tersebut. Fight-or-fight
response menyebabkan individu dapat berespon dengan cepat terhadap situasi
yang mengancam. Akan tetapi bila
arousal
yang tinggi terus menerus muncul dapat
membahayakan kesehatan individu. Selye (dalam Sarafino, 2006) mempelajari
akibat yang diperoleh bila stressor terus menerus muncul. Ia mengembangkan
istilah General Adaptation Syndrome (GAS) yang terdiri atas
rangkaian tahapan reaksi fisiologis terhadap stressor yaitu:
1. Fase
reaksi yang mengejutkan ( alarm reaction )
Pada fase ini individu secara
fisiologis merasakan adanya ketidakberesan seperti jantungnya berdegup, keluar
keringat dingin, muka pucat, leher tegang, nadi bergerak cepat dan sebagainya.
Fase ini merupakan pertanda awal orang terkena stres.
2. Fase
perlawanan (Stage of Resistence )
Pada fase ini tubuh membuat mekanisme
perlawanan pada stres, sebab pada tingkat tertentu, stres akan membahayakan.
Tubuh dapat mengalami disfungsi, bila stres dibiarkan berlarut-larut. Selama
masa perlawanan tersebut, tubuh harus
cukup tersuplai oleh gizi yang seimbang, karena tubuh sedang melakukan kerja
keras.
3. Fase
Keletihan ( Stage of Exhaustion )
Fase disaat orang sudah tak mampu lagi
melakukan perlawanan. Akibat yang parah bila seseorang sampai pada fase ini
adalah penyakit yang dapat menyerang bagian – bagian tubuh yang lemah.
b.
Aspek
psikologis
Reaksi psikologis terhadap stressor
meliputi:
1. Kognisi
Cohen menyatakan bahwa stres dapat
melemahkan ingatan dan perhatian dalam aktifitas kognitif.
2. Emosi
Emosi cenderung terkait stres.individu
sering menggunakan keadaan emosionalnya untuk mengevaluasi stres dan pengalaman
emosional (Maslach, Schachter & Singer, dalam Sarafino, 2006). Reaksi
emosional terhadap stres yaitu rasa takut, phobia, kecemasan, depresi, perasaan
sedih dan marah.
3. Perilaku
Sosial
Stres dapat mengubah perilaku individu
terhadap orang lain. Individu dapat berperilaku menjadi positif dan negatif
(dalam Sarafino, 2006). Stres yang diikuti dengan rasa marah menyebabkan
perilaku sosial negatif cenderung meningkat sehingga dapat menimbulkan perilaku
agresif (Donnerstein & Wilson, dalam Sarafino, 2006).
2) Pendekatan
problem Coping
Individu
dari semua umur mengalami stres dan mencoba untuk mengatasinya. Karena
ketegangan fisik dan emosional yang menyertai stres menimbulkan ketidaknyaman,
seseorang menjadi termotivasi untuk melakukan sesuatu untuk mengurangi stres.
Hal-hal yang dilakukan bagian dari coping (dalam Jusung,2006). Menurut
Colman (2001) coping adalah proses dimana seseorang mencoba untuk mengatur
perbedaan yang diterima antara demands dan resources yang dinilai
dalam suatu keadaan yang stressful. Lazarus & Folkman (1986)
mendefenisikan coping sebagai segala usaha untuk mengurangi stres, yang
merupakan proses pengaturan atau tuntutan (eksternal maupun internal) yang
dinilai sebagai beban yang melampaui kemampuan seseorang. Sarafino (2006)
menambahkan bahwa coping adalah proses dimana individu melakukan usaha
untuk mengatur (management) situasi yang dipersepsikan adanya
kesenjangan antara usaha (demands) dan kemampuan (resources) yang
dinilai sebagai penyebab munculnya situasi stres. Menurut Sarafino (2006) usaha
coping sangat bervariasi dan tidak selalu dapat membawa pada solusi dari suatu
masalah yang menimbulkan situasi stres. Individu melakukan proses coping terhadap
stres melalui proses transaksi dengan lingkungan, secara perilaku dan kognitif.
Fugsi Coping
Proses coping terhadap
stres memiliki 2 fungsi utama yang terlihat dari bagaimana gaya menghadapi
stres, yaitu :
1.
Emotional-Focused
Coping
Coping ini bertujuan untuk melakukan kontrol
terhadap respon emosional terhadap situasi penyebab stres, baik dalam
pendekatan secara behavioral maupun kognitif. Lazarus dan Folkman (1986)
mengemukakan bahwa individu cenderung menggunakan Emotional Focused Coping ketika
individu memiliki persepsi bahwa stresor yang ada tidak dapat diubah atau
diatasi.
2.
Problem-Focused
Coping,
Coping ini bertujuan untuk mengurangi dampak
dari situasi stres atau memperbesar sumber daya dan usaha untuk menghadapi
stres. Lazarus dan Folkman (1986) mengemukakan bahwa individu cenderung
menggunakan Problem Focused Coping ketika individu memiliki persepsi
bahwa stressor yang ada dapat diubah
Metode Coping Stress
Lazarus
& Folkman (1986) mengidentifikasikan berbagai jenis strategi coping,
baik
secara problem-focused maupun emotion-focused, antara lain:
1.
Planful
problem solving yaitu usaha
untuk mengubah situasi, dan menggunakan usaha untuk memecahkan masalah.
2.
Confrontive
coping yaitu menggunakan usaha
agresif untuk mengubah situasi, mencari penyebabnya dan mengalami resiko.
3.
Seeking
social support yaitu
menggunakan usaha untuk mencari sumber dukungan informasi, dukungan sosial dan
dukungan emosional.
4.
Accepting
responsibility yaitu
mengakui adanya peran diri sendiri dalam masalah
5.
Distancing
yaitu menggunakan usaha untuk
melepaskan dirinya, perhatian lebih kepada hal yang dapat menciptakan suatu
pandangan positif.
6.
Escape-avoidance
yaitu melakukan tingkah laku untuk
lepas atau menghindari.
7.
Self-control
yaitu menggunakan usaha untuk mengatur
tindakan dan perasaan diri sendiri.
8.
Positive
reappraisal yaitu
menggunakan usaha untuk menciptakan hal-hal positif dengan memusatkan pada diri
sendiri dan juga menyangkut religiusitas.
Faktor – faktor yang mempengaruhi Coping
Menurut
Smet (1994) faktor-faktor tersebut adalah:
1.
Variabel
dalam kondisi individu; mencakup umur, tahap perkembangan, jenis kelamin,
temperamen, faktor genetik, intelegensi, pendidikan, suku, kebudayaan, status
ekonomi dan kondisi fisik. Handayani (dalam Pamangsah, 2000), dalam skripsi kesarjanaannya
menambahkan pula faktor-faktor yang berperan dalam strategi menghadapi masalah,
antara lain: konflik dan stres serta jenis pekerjaan.
2.
karakteristik
kepribadian, mencakup introvert-ekstrovert, stabilitas emosi secara umum,
kepribadian “ketabahan” (hardiness), locus of control, kekebalan
dan ketahanan.
3.
Variabel
sosial-kognitif, mencakup: dukungan sosial yang dirasakan, jaringan sosial,
kontrol pribadi yang dirasakan.
4.
Hubungan
dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang diterima, integrasi dalam
jaringan sosial.
5.
Strategi coping,
merupakan cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah dan
menyesuaikan diri dengan perubahan dalam situasi yang tidak menyenangkan.
·
Tidak ada komentar:
Posting Komentar